Sering sekali pasien yang datang berobat ke dokter ingin diresepkan obat paten, karena dianggap lebih bagus dan berkhasiat untuk mengobati penyakit. Selain itu, karena harganya yang mahal, obat paten dianggap lebih berkualitas daripada obat generik. Benarkah demikian?
Secara umum, terdapat dua jenis obat yang dikenal di masyarakat, yaitu obat paten dan obat generik.
Obat Paten adalah obat baru yang diproduksi dan diedarkan oleh sebuah perusahaan farmasi, serta dilindungi oleh hak paten. Berdasarkan Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang paten, masa hak paten berlaku 20 tahun. Dalam masa ini, sebuah perusahaan farmasi memiliki hak eksklusif untuk memproduksi obat paten, yang tidak boleh diproduksi oleh perusahaan farmasi lain tanpa izin. Penemuan obat paten melalui serangkaian penelitian dan uji klinis sesuai aturan internasional, sebelum dapat diproduksi secara massal. Selain itu, hak eksklusif suatu perusahaan untuk melakukan proses produksi dan pemasaran obat paten membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga obat paten cenderung memiliki harga yang lebih mahal. Contohnya adalah Norvask® (amlodipine besylate), obat antihipertensi yang ditemukan oleh Pfizer. Hingga tahun 2007, sebelum masa hak patennya habis, obat ini hanya boleh diproduksi oleh Pfizer. Setelah masa hak paten berakhir, perusahaan farmasi lain dapat memproduksi obat tersebut, dengan terlebih dahulu mengurus izin edar obat di Indonesia. Obat yang telah habis masa patennya yang kemudian diproduksi dan diedarkan dengan nama dagang disebut obat me-too (mitu) atau saat ini dikenal sebagai obat generik bermerek. Namun, ada juga obat mitu yang tetap diedarkan dengan nama generik.
Obat generik adalah adalah obat dengan nama sesuai International Nonproprietary Names Modified (INN) yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) atau nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia berdasarkan zat aktif yang terkandung di dalamnya. Pembuatan obat generik didasarkan pada obat paten (inovator) atau obat originator yang sebelumnya telah diberi izin edar di Indonesia berdasarkan data lengkap khasiat, keamanan, dan mutu obat. Obat generik terbagi 2, yaitu obat generik berlogo dan obat generik bermerek.
- Obat generik berlogo adalah obat generik yang mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya. Pada awalnya, pemberian logo produsen bertujuan untuk membedakan obat generik yang diproduksi dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau tidak. CPOB adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Namun seiring berjalannya waktu, semua obat harus memiliki sertifikat CPOB untuk memperoleh izin edar obat di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas obat tetap sesuai standar, meskipun diproduksi oleh perusahaan farmasi yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 24 Tahun 2017, kemasan obat generik harus mencantumkan harga eceran tertinggi (HET) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan logo generik berwarna hijau. Selain itu, harga jual obat sudah ditetapkan oleh pemerintah dan disamakan dengan semua perusahaan farmasi, sehingga harga jualnya juga akan lebih murah. Contoh: parasetamol, amoksisilin, amlodipine, dan lain sebagainya.2. Obat generik bermerek (branded generic/branded drugs) adalah obat yang diedarkan dan dijual menggunakan nama dagang sesuai dengan keinginan produsen obat. Obat generik bermerek sering disalahartikan sebagai obat paten. Meskipun memiliki kandungan obat yang sama, harga obat generik bermerek umumnya lebih mahal karena membutuhkan biaya produksi dan promosi yang lebih mahal daripada obat generik biasa. Contoh: Sanmol (parasetamol), Amoxsan (amoksisilin), Divask (amlodipine) dan lain sebagainya.
Khasiat zat aktif antara obat generik dan obat generik bermerek adalah sama sejauh kualitas bahan dasarnya sama. Menurut BPOM, baik obat generik dan obat generik bermerek mengandung zat aktif dengan komposisi, kekuatan, bentuk sediaan, rute pemberian, indikasi, dan dosis yang sama dengan obat paten atau obat originator yang telah disetujui di Indonesia. Sebelum diproduksi, obat generik dan obat generik bermerek wajib melalui uji kesetaraan dengan obat inovator/originatornya, sehingga dapat diketahui kesamaan kualitas obat berdasarkan efek, fungsi penyerapan, dan keamanan dari obat tersebut.
Beberapa perbedaan obat paten dan generik dirangkum dalam tabel berikut:
Perbedaan | Obat Paten | Obat Generik Bermerek | Obat Generik Berlogo |
Penamaan | Sesuai keinginan produsen | Sesuai keinginan produsen | Sesuai kandungan zat aktif |
Hak paten | Ada, 20 tahun | Tidak ada | Tidak ada |
Kemasan | Bervariasi, sesuai keinginan produsen | Bervariasi, sesuai keinginan produsen | Sederhana, tercantum HET, dan logo generik |
Harga | Sangat mahal, karena membutuhkan serangkaian penelitian, uji klinis, dan proses produksi yang panjang. | Mahal, karena membutuhkan biaya untuk promosi dan pemasaran obat. Namun tidak lebih mahal daripada obat paten. | Murah, karena tidak membutuhkan biaya promosi dan harga jual diatur oleh pemerintah |
Perbedaan yang sering diragukan pasien adalah dari segi harga. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa kualitas obat generik tidak sebanding dengan kualitas obat paten karena harganya yang sangat murah. Padahal sebenarnya, baik obat paten dan obat generik memiliki kandungan zat aktif dan tujuan terapi yang sama, sehingga apapun obatnya tetap efektif dan aman untuk dikonsumsi.
Sumber:
Nurhayati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK): Farmakologi. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tatalaksana Registrasi Obat. Jakarta: BPOM.